Pendahuluan
Pertama-tama saya menyambut gembira hadirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Pidana, sebagai pembaharuan terhadap UU No. 8 Tahun 1981 mengenai Hukum Acara Pidana atau disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sekalipun ketika KUHAP tersebut dibuat (tahun 1970-an sampai diundangkan tahun 1981), sudah merupakan pembaharuan total dari kitab undang-undang hukum acara pidana kolonial, Herziene Indische Reglement (HIR), sehingga kita banggakan sebagai salah satu “masterpiece” dalam hukum nasional. Namun harus diakui bahwa setelah berjalan lebih dari dua dekade, ternyata banyak kekurangan dan kelemahan yang ditemukan dalam praktek, sehingga timbul kebutuhan baru yang mendesak untuk diperbaiki. Hal ini wajar karena sesuai dengan dinamika perkembangan dan pertumbuhan masyarakat demokratis yang menuntut adanya pemabaruan hukum secara berlaka atau dengan perkataan lain hukum yang responsive.
Meskipun demikian, terhadap RUU KUHAP tersebut khusus mengenai
rencana untuk menggantikan lembaga Praperadilan dengan model Hakim
Komisaris, saya berbeda pendapat. Oleh karena itu, sewaktu Panitia
meminta saya menulis paper dengan judul “Beberapa Pemikiran mengenai
Keberadaan Hakim Komisaris sebagai Pengganti Lembaga Praperadilan”, saya
ubah judul paper saya menjadi “Praperadilan versus Hakim Komisaris,
Beberapa Pemikiran mengenai Keberadaan Keduanya”. Sebab, judul yang
diminta berasumsi, seolah-olah kita sudah menerima penggantian lembaga
praperadilan dengan Hakim Komisaris. Padahal saya berpendapat, meskipun
terdapat beberapa kekurangan dan kelemahan, secara prinsip lembaga
praperadilan masih perlu dipertahankan, tentu saja dengan beberapa
perbaikan dan penyempurnaan.
Sejarah Lahirnya Praperadilan
Untuk lebih memahami keberadaan lembaga praperadilan yang ada sekarang ini, perlu kiranya dijelaskan latar belakang sejarah kelahirannya sehingga masuk ke dalam Hukum Acara Pidana yang berlaku. Saya mengetahui secara persis karena terlibat secara langsung dalam proses permulaan kelahirannya.
Pada waktu RUU Hukum Acara Pidana diajukan oleh Pemerintah di bawah
menteri Kehakiman Mudjono, S.H. (alm) ke DPR pada akhir tahun 1979,
timbul reaksi keras dari masyarakat baik dari kalangan LBH/YLBHI,
Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), Akademisi maupun kalangan pers,
yang mengganggap bahwa RUU tersebut amat buruk, bahkan lebih jelek dari
HIR yang akan digantikannya. Rancangan itu dianggap masih saja
berorientasi pada kekuasaan dan tidak cukup melindungi hak-hak asasi
tersangka ataupun terdakwa yang selama berpuluh tahun dibawah HIR tidak
dilindungi. Ketika itu muncul “Komite Aksi Pembela Pancasila dalam
KUHAP”, yang terdiri dari gabungan LBH/YLBHI dan LBH-LBH kampus, para
akademisi dan wakil-wakil pers, yang menolak dan menuntut pada
pemerintah agar RUU tersebut dicabut. Dan sebagai penggantinya Komite
mengajukan usul tandingan, demikian juga Peradin mengajukan RUU
tandingan.
Dalam pertemuan antara delegasi Komite bersama Peradin dengan pihak
Pemerintah yang dipimpin Menteri Kehakiman Mudjono, S.H., Pemerintah
menolak mencabut RUU KUHAP namun menyetujui untuk membuat draft yang
baru bersama DPR dengan masukan-masukan baik dari Komite, maupun Peradin
dan lembaga-lembaga lainnya. Mak KUHAP sebenarnya merupakan draft baru
sama sekali yang dibuat langsung di DPR oleh Pansus DPR bersama
Pemerintah dengan masukan-masukan dari masyarakat sehingga benar-benar
merupakan undang-undang yang demokratis, dengan meninggalkan RUU yang
dibuat pemerintah sebelumnya.
Salah satu hal baru yang merupakan terobosan dalam pembuatan
undang-undang baru itu adalah gagasan lembaga praperadilan, yang
kebetulan saya sendiri-lah penggagas awalnya. Gagasan ini secara resmi
diajukan dalam pertemuan dengan Menteri Mudjono, oleh “Komite Pembela
Pancasila dalam KUHAP”, dan didukung oleh Peradin untuk menggantikan
model Hakim Komisaris yang ada dalam RUU versi Pemerintah ketika itu,
Menteri Mudjono menerima baik gagasan tersebut, dan meminta saya dibantu
beberapa ahli, antara lain Saudara Gregory Churcill, lawyer Amerika
yang mengajar di UI.
Dasar Pemikiran Lembaga Praperadilan
Gagasan lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut (menantang) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi ataupun jaksa) membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia. Surat perintah habeas corpus ini dikeluarkan oleh pengadilan pada pihak yang sedang menahan (polisi atau jaksa) melalui prosedur yang sederhana langsung dan terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh siapapun. Bunyi surat perintah habeas corpus (the writ of habeas corpus) adalah sebagai berikut: “Si tahanan berada dalam penguasaan Saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukan alasan yang menyebabkan penahanannya”.
Prinsip dasar habeas corpus ini memberikan inspirasi untuk
menciptakan suatu forum yang memberikan hak dan kesempatan kepada
seseorang yang sedang menderita karena dirampas atau dibatasi
kemerdekaannya untuk mengadukan nasibnya sekaligus menguji kebenaran dan
ketepatan dari tindakan kekuasaan berupa penggunaan upya paksa (dwang middelen),
baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan
surat-surat yang dilakukan oleh pihak kepolisian ataupun kejaksaan
atau pula kekuasaan lainnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh situasi dan
kondisi saat itu dimana sering terjadi perkosaan hak asasi tersangka
atau terdakwa oleh penyidik dan jaksa penuntut umum, karena tidak adanya
suatu lembaga atau mekanisme yang dapat menilai dan menguji apakah
tindakan upaya paksa yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan hukum
atau tidak. Seorang tersangka atau terdakwa yang ditangkap atau ditahan,
seolah-olah berada dalam suatu “ruangan gelap” dan tidak berdaya sama
sekali (helpless). Saya sendiri mengalaminya dan dapat merasakan
bagaimana tidak berdayanya seseorang yang tiba-tiba direnggut
kemerdekaannya dan dijebloskan dalam sel penjara tanpa surat perintah
penahanan tanpa sempat didengan dan diperiksa terlebih dahulu, dan sama
sekali tidak bisa berhubungan dengan dunia luar termasuk keluarga, atau
dengan perkataan lain, dengan serta merta menjadi incommunicado. Pada
saat itulah terbayang dalam pikiran saya, perlunya suatu forum terbuka
yang memberikan hak berupa upaya hukum pada seseorang untuk melawan atau
menggugat tindakan penahanan sewenang-wenang yang dilakukan oleh
penguasa.
Padahal sistem peradilan kitapun menganut asas praduga tidak
bersalah, yang artinya setiap orang yang disangka atau diduga keras
telah melakukan tindak pidana wajib dianggap tidak bersalah sampai
dibuktikan kesalahannya oleh suatu putusan pengadilan melalui sidang
peradilan yang terbuka, bebas dan tidak memihak. Maka orang tersebut
haruslah dijunjung dan dilindungi hak asasinya. Namun pada kenyataannya
dalam mencari pembuktian terhadap orang yang baru disangka atau diduga
melakukan tindak pidana, pihak penyidik atau penuntut umum seringkali
langsung saja menggunakan upaya paksa (dwang middelen) tanpa dipenuhinya
syarat-syarat formil terutama syarat-syarat materiil dalam hal
penangkapan maupun penahanan.
Pengawasan dan penilaian terhadap upya paksa yang digunakan inilah
yang tidak kita miliki dalam tingkatan pemeriksaan pendahuluan di masa
berlakunya HIR. Memang pada masa itu ada semacam pengawasan oleh hakim
yakni dalam hal perpanjangan waktu penahanan sementara yang harus
dimintakan persetujuan hakim (pasal 83 C ayat 4, HIR). Namun dalam
praktek kontrol hakim ini kurang dirasakan manfaatnya, karena tidak
efektif mengingat urusan perpanjangan penahanan oleh hakim itu bersifat
tertutup dan semata-mata dianggap urusan birokrasi.
Dalam proses tersebut, semua surat permohonan perpanjangan penahanan
secara serta merta tanpa diperiksa lagi langsung sajadi tandatangani
oleh hakim ataupun petugas yang ditunjuk oleh hakim. Akibatnya banyak
penahanan yang berlarut-larut sampai bertahun-tahun dan korban yang
bersangkutan tidak memiliki hak dan upaya hukum apapun yang tersedia
baginya untuk melawan kesewenang-wenangan yang menimpa dirinya. Dia
hanya pasrah pada nasib, dan menunggu belas kasihan dari hakim untuk
membebaskannya kelak di muka pemeriksaan persidangan pengadilan.
Pengalaman empiris pribadi saya seperti diuraikan di atas dan kondisi
objektif inilah yang melahirkan inspirasi untuk mengambil
prinsip-prinsip dalam habeas corpus dari sistem Anglo Saxon yang
memberikan hak sekaligus jaminan fundamental kepada seorang tersangka
atau terdakwa untuk melakukan tuntutan ataupun gugatan terhadap pejabat
(polisi atau jaksa) yang menahannya agar membuktikan bahwa penahanan itu
benar-benar sah dan tidak melanggar hak asasi manusia.
Sidang praperadilan yang diadakan atas permintaan tersangka atau
terdakwa ataupun keluarganya ataupula atas kuasanya merupakan suatu
forum yang terbuka, yang dipimpin seorang hakim atau lebih untuk
memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum yang telah melakukan
upaya paksa agar mempertanggungjawabkan tindakannya di muka forum yang
bersangkutan, apakah benar-benar beralasan dan berlandaskan hukum.
Dengan sistem pengujian melalui sidang terbuka ini, maka tersangka atau
terdakwa seperti halnya dalam Habeas Corpus Act, dijamin hak asasinya
berupa hak dan upaya hukum untuk melawan perampasan atau pembatasan
kemerdekaan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik ataupun
penuntut umum. Sebab dalam forum itu pihak penyidik atau penuntut umum
wajib membuktikan bahwa tindakannya sah dan tidak melanggar hukum.
Untuk keperluan tersebut tentu saja pihak penyidik ataupun penuntut
umum harus membuktikan bahwa dia memiliki semua syarat-syarat hukum yang
diperlukan, baik berupa syarat-syarat formal maupun materiil, seperti
misalnya surat perintah penangkapan atau penahanan, adanya dugaan keras
telah melakukan tindak pidana yang didukung oleh bukti permulaan yang
cukup, ataupun dalam hal penahanan adanya alasan yang nyata dan konkrit
bahwa si pelaku akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau
mengulangi kejahatannya.
Disamping itu, melalui forum praperadilan ini juga dipenuhi syarat
keterbukaan (transparancy) dan akuntabilitas publik (public
accountability) yang merupakan syarat-syarat tegaknya sistem peradilan
yang bebas dan tidak memihak serta menjungjung tinggi hak asasi manusia.
Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas publik ini maka dapat
dicegah timbulnya praktek-praktek birokrasi yang tertutup dan
sewenang-wenang dalam menahan orang ataupun memperpanjang penahanan
seperti terjadi pada masa HIR sebagaimana diuraikan di atas. Juga dapat
dicegah terjadinya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam
proses membebaskan penahanan. Melalui forum terbuka ini masyarakat juga
dapat ikut mengontrol jalannya proses pemeriksaan dan pengujian
kebenaran dan ketepatan tindakan penyidik maupun penuntut umum dalam
menahan seseorang ataupun dalam hal pembebasan, mengontrol alasan-alasan
dan dasar hukum hakim praperadilan yang memerdekakannya.
Kelemahan dan Kekurangan Sistem Peradilan
Sekalipun secara prinsip, sistem praperadilan tersebut diterima dan diberlakukan dalam UU No. 1 tahun 1981 tentang KUHAP, namun sangat disayangkan tugas dan wewenang praperadilan sangat terbatas. Hal ini disebabkan bukan saja karena keterbatasan wawasan yang dimiliki saat itu, mengingat praperadilan adalah barang baru sama sekali, melainkan juga karena situasi dan kondisi politik yang amat represif saat itu, sehingga tidak memungkinkan dikabulkannya jaminan hak asasi yang lebih luas. Praperadilan yang dirumuskan saat itu harus dilihat sebagai hasil optimal yang bisa dicapai, antara lain juga mengingat konstelasi kekuatan-kekuatan politik baik pihak kepolisian maupun kejaksaan dimasa itu yang umumnya masih kuat berorientasi pada kekuasaan.
Menurut Pasal 1 butir ke-10 KUHAP, Praperadilan adalah wewenang
pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur
undang-undang ini tentang (a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan
atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasa tersangka; (b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan
keadilan; (c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan. Dengan demikian Praperadilan hanyalah menguji
dan menilai tentang kebenaran atau ketepatan tindakan upaya paksa yang
dilakukan penyidik atau penuntut umum dalam hal yang menyangkut
penangkapan dan penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan, serta
hal ganti rugi dan rehabilitasi.
Dengan demikian harus diakui bahwa praperadilan memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan, karena: Pertama,
tidak semua upaya paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk diuji dan
dinilai kebenaran dan ketepatannya oleh lembaga praperadilan, misalnya
tindakan penggeledehan, penyitaan dan pembukaan serta pemeriksaan
surat-surat tidak dijelaskan dalam KUHAP, sehingga menimbulkan
ketidakjelasan siapa yang berwenang memeriksanya apabila terjadi
pelanggaran. Disini lembaga praperadilan kurang memperhatikan
kepentingan perlindungan hak asasi tersangka atau terdakwa dalam hal
penyitaan dan penggeledehan, padahal penggeledahan yang sewenang-wenang
merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat tinggal orang
(privacy), dan penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius
terhadap hak milik seseorang.
Kedua, praperadilan tidak berwenang untuk
menguji dan menilai sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan,
tanpa adanya permintaan dari tersangka atau keluarganya atau pihak lain
atas kuasa tersangka. Sehingga apabila permintaan tersebut tidak ada,
walaupun tindakan penangkapan atau penahanan nyata-nyata menyimpang dari
ketentuan yang berlaku, maka sidang praperadilan tidak dapat
ditiadakan.
Ketiga, lebih parah lagi sebagaimana
ternyata dalam praktek selama ini dalam pemeriksaan praperadilan, hakim
lebih banyak memperhatikan perihal dipenuhi tidaknya syarat-syarat
formil semata-mata dari suatu penangkapan atau penahanan, seperti
misalnya ada atau tidak adanya surat perintah penangkapan (Pasal 18
KUHAP), atau ada tidaknya surat perintah penahanan (Pasal 21 ayat (2)
KUHAP), dan sama sekali tidak menguji dan menilai syarat materiilnya.
Padahal syarat materiil inilah yang menentukan apakah seseorang dapat
dikenakan upaya paksa berupa penangkapan atau penahanan oleh penyidik
atau penuntut umum. Tegasnya hakim pada praperadilan seolah-olah tidak
peduli apakah tindakan penyidik atau jaksa penuntut umum yang melakukan
penangkapan benar-benar telah memenuhi syarat-syarat materiil, yaitu
adanya “dugaan keras” telah melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti
permulaan yang cukup”. Ada tidaknya bukti permulaan yang cukup ini dalam
praktek tidak pernah dipermasalahkan oleh Hakim, karena umumnya hakim
praperadilan mengganggap bahwa hal itu bukan menjadi tugas dan
wewenangnya, melainkan sudah memasuki materi pemeriksaan perkara yang
menjadi wewenang hakim dalam sidang pengadilan negeri.
Demikian juga dalam hal penahanan, hakim tidak menilai apakah
tersangka atau terdakwa yang “diduga keras” melakukan tindak pidana
berdasarkan “bukti yang cukup” benar-benar ada alasan yang konkrit dan
nyata yang menimbulkan kekhawatiran bahwa yang bersangkutan “akan
melarikan diri, menghilangkan barang bukti ataupun mengulangi
perbuatannya”. Para hakim umumnya menerima saja bahwa hal adanya
kekhawatiran tersebut semata-mata merupakan urusan penilaian sebjektif
dari pihak penyidik atau penuntut umum, atau dengan lain perkataan
menyerahkan semata-mata kepada hak dikresi dari pihak penyidik dan
penuntut umum. Akibatnya sampai saat ini masih banyak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan dalam hal penangkapan
dan penahanan terhadap seorang tersangka ataupun terdakwa oleh pihak
penyidik ataupun penuntut umum, yang tidak dapat diuji karena tidak ada
forum yang berwenang memeriksanya. Padahal dalam sistem habeas corpus
act dari negara Anglo Saxon, hal ini justru menjadi tonggak ujian sah
tidaknya penahanan terhadap seseorang ataupun boleh tidaknya seseorang
ditahan.
Di Amerika peranan hakim, tidak hanya terbatas pada pengawasan
terhadap tindakan penangkapan dan penahanan yang sudah terjadi,
melainkan pada waktu sebelumnya, yaitu sebelum diadakan penahanan,
bahkan sebelum dikeluarkannya surat dakwaan. Hakim berwenang memeriksa
dan menilai apakah ada alasan dan dasar hukum yang kuat tentang
terjadinya peristiwa pidana dan bukti-bukti permulaan yang cukup untuk
mendakwa bahwa tersangka memang pelakunya, walaupun pemeriksaan tentang
bersalah tidaknya berdasarkan bukti-bukti yang ada baru dilangsungkan
kemudian dalam sidang pemeriksaan perkara.
Hakim Komisaris bukan Istilah Baru
Istilah hkaim komisaris sebenarnya bukan barang baru di Indonesia, sebab pada saat diberlakukannya Reglement op de Strafvoerdering, hal itu sudah diatur dalam title kedua tentang Van de regter-commissaris berfungsi pada tahap pemeriksaan pendahuluan sebagai pengawas (examinating judge) untuk mengawasi apakah tindakan upaya paksa (dwang middelen), yang meliputi penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat, dilakukan dengan sah atau tidak. Selain itu, dalam Reglement op de Strafvoerdering tersebut Hakim Komisaris atau regter-commissaris dapat melakukan tindakan eksekutif (investigating judge) untuk memanggil orang, baik para saksi (Pasal 46) maupun tersangka (Pasal 47), mendatangi rumah para saksi maupun tersangka (Pasal 56), dan juga memeriksa serta mengadakan penahanan sementara terhadap tersangka (Pasal 62). Akan tetapi setelah diberlakukan Herziene Indische Reglement (HIR) dengan Staatsblad No. 44 Tahun 1941, istilah regter-commissaris tidak digunakan lagi.
Selanjutnya istilah Hakim Komisaris mulai muncul kembali dalam konsep
Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diajukan ke DPR pada
tahun 1974, pada masa Prof. Oemar Seno Adjie, S.H., menjabat sebagai
Menteri Kehakiman. Dalam konsep ini, Hakim Komisaris memiliki wewenang
pada tahap pemeriksaan pendahuluan untuk melakukan pengawasan
pelaksanaan upaya paksa (dwang middelen), bertindak secara eksekutif
untuk ikut serta memimpin pelaksanaaan upaya paksa, menentukan penyidik
mana yang melakukan penyidikan apabila terjadi sengketa antara polisi
dan jaksa, serta mengambil keputusan atas keberatan-keberatan yang
diajukan oleh pihak-pihak yang dikenakan tindakan. Latar belakang
diintrodusirnya Hakim Komisaris adalah untuk lebih melindungi jaminan
hak asasi manusia dalam proses pidanan dan menghindari terjadinya
kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi
yang berbeda. Penangkapan dan penahanan yang tidak sah merupakan
pelanggaran serius terhadap hak asasi kemerdekaan dan kebebasan orang.
Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik
orang, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap
ketentraman rumah tempat kediaman orang.
Jika diteliti lebih jauh, dasar pemikiran adanya hakim komisaris
dalam sistem Eropa Kontinental, antara lain Belanda, sebenarnya tidak
bisa dilepaskan daripada fungsi hukum acara pidana yang bertujuan
mencari dan menemukan kebenaran sejati serta menjalankan atau
melaksanakan hukum pidana materiil. Hukum pidana materiil memiliki asas
fundamental bahwa tidak ada suatu tindak pidana tanpa ada undang-undang
yang mengatur sebelumnya (nullum delictum nulla poena praviae siena lege
poenali). Assa ini yang dimuat dalam pasal 1 Wetbook van Straftrecht
Belanda, mempengaruhi keseluruhan proses hukum acara pidana, baik di
dalam penyidikan, penuntutan maupn penggeledahan.
Untuk seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa, maka
hukum acara mensyaratkan harus adanya dugaan keras bahwa orang tersebut
bersalah melakukan suatu tindak pidana. Begitu pula seseorang yang
ditahan harus dipenuhi syarat bahwa ada cukup bukti bahwa orang tersebut
bersalah terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Demikian juga
didalam hal memasuki rumah seseorang (menggeledah), harus ada dugaan
keras bahwa telah terjadi tindak pidana. Sebab, jika tidak dipenuhi
syarat-syarat tersebut maka pihak tersangka dapat melakukan perlawanan
(verzet) yang dapat dibenarkan hakim.
Maka dapat dimengerti munculnya fungsi hakim komisaris dalam sistem
Eropa Kontinental seperti Belanda bertujuan mengawasi jalannya proses
hukum acara pidana khususnya pelaksanaan wewenang pihak eksekutif, dalam
hal ini pihak penyidik dan penuntut umum yang dalam rangka mencari
bukti pada pemeriksaan pendahuluan melakukan tindakan-tindakan upaya
paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan
pembukaan surat-surat. Dengan demikian pengawasan hakim komisaris ini
pada dasarnya merupakan hak kontrol dari pihak yudikatif (control van
rechterlijkemacht) terhadap eksekutif. Karena itulah hakim diberi
wewenang yang demikian luas mencampuri bidang tugas penyidik maupun
penuntut umum dalam hal pemeriksaan pendahuluan.
Sekalipun demikian di Negeri Belanda sendiri sampai sekarang, masih
menjadi persoalan sampai sejauh mana batasan wewenang hakim komisaris
dalam mengawasi pemeriksaan pendahuluan, karena dianggap mencampuri
bidang eksekutif yaitu bidang penyidikan yang merupakan wewenang
penyidik dan atau kejaksaan selaku penuntut umum. Sebab, misalnya
dikhawatirkan pada saat seorang hakim komisaris memasuki bidang eksekuif
dan harus berhadapan dengan masalah kebijakan, maka hakim tidak akan
bisa lagi bersikap netral.
Hakim Komisaris menurut RUU KUHAP
Hakim Komisaris menurut RUU KUHAP memiliki kewenangan yang lebih luas dari Praperadilan. Menurut Pasal 75 RUU KUHAP Hakim Komisaris memiliki tugas dan kewenangan untuk (a) menentukan perlu tidaknya diteruskan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum; (b) menentukan perlu tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum; (c) menentukan perlu tidaknya pencabutan atas penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum; (d) menentukan sah atau tidaknya suatu penyitaan, penggeledahan tempat tinggal atau tempat yang lain yang bukan menjadi milik Tersangka; (e) memerintahkan Penyidik atau Penuntut Umum membebaskan tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir masa penahanan tersebut, jika terdapat dugaan kuat adanya penyiksaan atau kekerasan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Tugas dan wewenang Hakim Komisaris tersebut dilakukan dengan
permohonan atau tanpa permohonan oleh tersangka atau terdakwa, keluarga,
atau kuasanya kepada Hakim Komisaris. Dengan demikian tindakan Hakim
Komisaris pada tahap pemeriksaan pendahuluan bersifat aktif, dan
berfungsi baik sebagai examinating judge maupun investigating judge.
Komentar dan Kritik terhadap model Hakim Komisaris dibandingkan dengan Lembaga Praperadilan.
Harus diakui, tugas dan wewenang HakiM Komisaris sebagaimana dirumuskan dalam RUU KUHAP ternyata lebih luas daripada wewenang Hakim Praperadilan. Karena tidak hanya terbatas pada penangkapan dan penahanan ataupun penghentian penyidikan dan penuntutan melainkan juga perihal perlu tidaknya diteruskan penahanan ataupun perpanjangan penahanan, perlu tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, perlu tidaknya pencabutan atas penghentian penyidikan atau penuntutan, sah atau tidaknya penyitaan dan penggeledahan, serta wewenang memerintah penyidik atau penuntut umum untuk membebaskan tersangka atau terdakwa jika terdapat dugaan kuat adanya penyuiksaan ataupun kekerasan pada tingkat penyidikan ataupun penuntut.
Sekalipun demikian menurut hemat saya model hakim komasaris yang pada
dasarnya mengambil model pengawasan yang menjadi tradisi sistem
peradilan Eropa Kontinental seperti halnya Belanda, mengandung beberapa
kelemahan mendasar dibandingkan dengan lembaga praperadilan. Pertama,
dilihat dari konsep dasarnya, kedua sistem tersebut memiliki konsep yang
berbeda, seklaipun tujuannya sama yaitu sama-sama melindungi hak asasi
manusia terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dan
penuntut umum. Dalam kekuasaan negara, yakni hak kontrol dari kekuasaan
kehakiman (yudikatif) terhadap jalannya pemeriksaan pendahuluan yang
dilakukan pihak eksekutif berdasarkan wewenangnya. Sedangkan lembaga
praperadilan bersumber pada hak habeas corpus yang pada dasarnya
memberikan hak kepada seseorang yang dilanggar hak asasinya untuk
melakukan perlawanan (redress) terhadap tindakan upaya paksa yang
dilakukan oleh penyidik atau jaksa dengan menuntut yang bersangkutan
dimuka pengadilan agar mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan
membuktikan bahwa upaya paksa yang dilakukan tersebut tidak melanggar
hukum (ilegal) melainkan sah adanya. Disini tekanan diberikan pada hak
asasi yang dimiliki tersangka atau terdakwa sebagai manusia yang
merdeka, yang karena itu tidak dapat dirampas secara sewenang-wennag
kemerdekaannya (menguasai diri orang, “that you have the body”).
Perbedaan hakiki tersebut membawa konsekuensi bahwa dalam konsep
hakim komisaris, kemerdekaan seseorang amat digantungkan pada “belas
kasihan” negara, khususnya kekuasaan kehakiman untuk melaksanakan fungsi
pengawasannya terhadap pihak eksekutif (penyidik dan penuntut umum)
dalam menjalankan pemeriksaan pendahuluan. Sedangkan dalam konsep
praperadilan, kemerdekaan orang itu memberikan hak fundamental padanya
untuk melawan dan menuntut negara, dalam hal ini pihak eksekutif yaitu
penyidik dan penuntut umum, untuk membuktikan bahwa tindakan upaya paksa
yang dilakukan negara benar-benar tidak melanggar ketentuan hukum yang
berlaku dan hak asasi manusia, dan jika yang bersangkutan tidak berhasil
membuktikannya maka orang tersebut harus dibebaskan dan mendapatkan
kembali kebebasannya.
Kedua, sistem pemeriksaan oleh Hakim Komisaris pada dasarnya bersifat
tertutup (internal) dan dilaksanakan secara individual oleh hakim yang
bersangkutan terhadap penyidik, penuntut umum, saksi-saksi bahkan juga
terdakwa. Sekalipun pemeriksaan itu dilakukan secar objektif dan
profesional, namun karena sifatnya yang tertutup maka tidak ada
transparansi dan akuntabilitas publik, sebagaimana halnya proses
pemeriksaan sidang terbuka dalam forum praperadilan. Akibatnya
masyarakat (publik) tidak dapat turut mengawasi dan menilai proses
pemeriksaan pengujian serta penilaian hakim terhadap benar tidaknya,
atau tepat tidaknya upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik ataupun
jaksa penuntut umum. Dalam kondisi sekarang, syarat transparansi dan
akuntabilitas publik ini amat diperlukan, terutama dalam menghadapi
korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah melanda bidang peradilan.
Ketiga, pengawasan oleh hakim komisaris dalam sistem peradilan Eropa
Kontinental, antara lain Belanda, merupakan bagian integral dari
keseluruhan sistem pengawasan hierarkis, yang dilakukan Hakim
(justitie), terhadap Jaksa (Openbaar Ministrie) dan Kepolisian. Dalam
sistem tersebut, hakim mengawasi jaksa, dan selanjutnya jaksa mengawasi
polisi sebagai satu kesatuan sistem pengawasan integral yang harmonis
dan serasi. Maka apabila konsep ini mau diterapkan, syaratnya ketiga
fungsionaris tersebut (Hakim, Jaksa dan Polisi), sekalipun masing-masing
merupakan instansi yang berdiri sendiri, namun didalam bidang peradilan
atau proses poemeriksaan perkara dari tingkat penyelidikan, penyidikan,
penuntutan sampai dengan pemeriksaan dimuka persidangan pengadilan
secara fungsional adalah merupakan satu rangkaian hierarki kesatuan
fungsi yang berbagi tugas dan wewenang namun saling melengkapi.
Sistem ini dahulu pernah dimiliki oleh negara kita sebagai bekas
jajahan Belanda sesuai asas konkordansi. Namun sejak Dekrit 5 Juli 1959
sistem tersebut sudah dirobah (retool), sesuai dengan tuntutan Demokrasi
Terpimpin, dimana ketiga instansi tersebut masing-masing menjadi
berdiri sendiri-sendiri dan terpisah secara tajam. Masing-masing
instansi menolak campur tangan instansi lainnya, seperti Kejaksaan
menolak campur tangan hakim, dan Kepolisian juga menolak campur tangan
hakim, dan Kepolisian juga menolak campur tangan Kejaksaan. Hal ini
dapat kita lihat pada waktu diajukannya model hakim komisaris dalam
konsep RUU KUHAP tahun 1974, dimana timbul keberatan-keberatan dari
pihak kepolsian maupun kejaksaan, karena menganggap bahwa pengawasan
dalam tingkatan pemeriksaan pendahuluan adalah wewenang masing-masing
instansi penyidik yaitu kepolisian dan kejaksaan. Akibatnya sistem
kontrol secara hierarkis dan terpadu hilang.
Oleh karena itu, menurut hemat saya, dalam kondisi seperti sekarang
ini, amatlah sulit diharapkan berjalannya sistem pengawasan dengan
menggunakan model Hakim Komisaris, sekalipun misalnya diberikan
kewenangan berdasarkan undang-undang. Andaikata pun model hakim komisaris
ini hendak diterapkan kembali sesuai RUU KUHAP maka implikasinya adalah
merombak kembali seluruh tatanan sistem peradilan kita sekarang ini,
untuk dikembalikan pada sistem tradisi Eropa Kontinental seperti pernah
berlaku dahulu di jaman berlakunya Strafvordering (Rs.V). hal ini
berarti bahwa semua perundang-undangan yang berlaku sekarang ini yang
menyangkut sistem peradilan harus diubah kembali, baik UU Pokok
Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 tahun 1970), UU Pokok Kejaksaan (UU No. 5
Tahun 1991) dan maupun UU Pokok Kepolisian (UU No. 28 tahun 1997).
Pada dasarnya saya tidak keberatan diterapkan model Hakim Komisaris
dalam Hukum Acara Pidana kita, asalkan kita sanggup melakukan tugas
berat tersebut. Mengingat situasi dan kondisi politik sekarang ini saya
sendiri menyangsikan bahwa perombakan total sistem peradilan tersebut
dapat kita lakukan saat ini.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan segala sesuatu yang diuraikan di atas, penerapan
Hakim Komisaris dalam sistem peradilan kita, khususnya di bidang
pemeriksaan pendahuluan kiranya belum saatnya untuk diterapkan,
mengingat sistem peradilan yang berlaku sekarang ini masih berjalan
sendiri-sendiri dan belum terpadu. Oleh karena itu, saya berpendapat
bahwa dilihat secara praktis lembaga praperadilan lebih feasible untuk
dipertahankan dengan menambahkan semua tugas dan wewenang baru tersebut,
yang berarti memperluas kewenangan hakim praperadilan, maka dapat
diharapkan lembaga praperadilan sebagai forum yang terbuka dan
accountable mampu melakukan pengawasan secara lebih efektif terhadap
jalannya proses peradilan khususnya pemeriksaan pendahuluan di negara
kita dan pada gilirannya lebih menjamin hak-hak asasi manusia.
Sumber: www.legalitas.org
Sumber: www.legalitas.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar